Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kontribusi wajib yang diterapkan pada setiap transaksi barang dan jasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pajak ini berlaku pada berbagai jenis pembelian, mulai dari kebutuhan dasar seperti makanan hingga barang-barang mewah.
Di Indonesia, PPN sebesar 12% telah diberlakukan sejak beberapa tahun lalu, dan meskipun besarnya tergolong standar, dampaknya terhadap ekonomi masyarakat sangat besar. Dengan angka ini, rakyat Indonesia tidak hanya menjadi bagian dari roda perekonomian, tetapi juga menjadi investor terbesar dalam anggaran negara.
Namun, pertanyaan besar yang muncul: apakah rakyat, sebagai penyumbang utama penerimaan negara, sudah memperoleh pelayanan yang setara dengan kontribusi mereka? Apakah rakyat benar-benar merasa dihargai oleh negara yang membayar mereka melalui pembayaran PPN? Ataukah sebenarnya rakyat yang sudah mengeluarkan dana besar melalui PPN justru berada dalam posisi yang dirugikan?
Artikel ini akan membahas siapa sebenarnya yang menjadi โjuraganโ dalam sistem PPN 12%, serta bagaimana seharusnya rakyat diperlakukan dengan hormat dan mendapatkan hak-hak yang sesuai dengan kontribusi mereka.
Pajak PPN 12%: Kontribusi Rakyat terhadap Negara
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi negara. Ketika kita membeli barang atau jasa, maka kita sebenarnya ikut berkontribusi dalam membiayai negara melalui PPN.
Misalnya, jika kita membeli barang seharga Rp 200.000, kita akan membayar tambahan sebesar Rp 24.000 sebagai PPN, yang langsung masuk ke kas negara. Begitu seterusnya dalam setiap transaksi yang melibatkan barang atau jasa, yang pada akhirnya menghasilkan dana yang sangat besar.
Menggunakan angka-angka sederhana, jika setiap orang di Indonesia menghabiskan Rp 200.000 per hari untuk membeli barang dan jasa, maka PPN yang mereka bayar setiap hari adalah Rp 24.000.
Dalam sebulan, jika dihitung, setiap individu menyetor sekitar Rp 720.000 ke negara melalui PPN. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 284 juta jiwa, maka total penerimaan negara dari PPN dapat mencapai sekitar Rp 6,8 triliun per hari, atau lebih dari Rp 2.456 triliun per tahun.
Ini adalah angka yang sangat fantastis dan menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dengan kontribusi sebesar ini, rakyat Indonesia sesungguhnya adalah investor terbesar dalam anggaran negara. Mereka berperan sebagai penyedia dana utama untuk kegiatan pemerintahan, pembangunan infrastruktur, pelayanan sosial, hingga gaji aparatur negara.
Namun, seiring dengan besarnya kontribusi ini, ada pertanyaan mendasar yang sering terlontar: apakah rakyat mendapatkan manfaat yang sebanding dengan apa yang mereka bayarkan? Apakah rakyat benar-benar menjadi bagian dari โpemerintahanโ atau justru dianggap sebagai objek yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan negara?
Rakyat Sebagai โJURAGANโ Negara
Rakyat Indonesia, melalui PPN dan pajak lainnya, telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendanaan negara. Dalam hal ini, rakyat seharusnya dipandang sebagai โJURAGANโ atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.
Secara teoritis, rakyat adalah pemilik negara, yang memilih wakil-wakil mereka melalui sistem demokrasi, serta membayar pajak untuk memastikan negara berjalan dengan baik.
Sebagai โJURAGAN,โ rakyat berhak atas pelayanan terbaik dari negara. Mereka berhak mendapatkan fasilitas publik yang memadai, layanan kesehatan yang berkualitas, pendidikan yang layak, serta infrastruktur yang mendukung kehidupan sehari-hari.
Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Meskipun rakyat adalah penyumbang utama anggaran negara, sering kali mereka merasakan perlakuan yang tidak sebanding dengan kontribusi yang telah diberikan.
Contohnya, banyak masyarakat yang merasa bahwa layanan publik yang mereka terima tidak memadai. Di kota-kota besar, meskipun sudah banyak kemajuan dalam hal infrastruktur, masih ada daerah-daerah yang kekurangan fasilitas dasar seperti air bersih, jalan yang rusak, dan transportasi umum yang tidak layak. Selain itu, permasalahan sosial dan ekonomi seperti kemiskinan, kemiskinan, dan ketimpangan masih menjadi isu utama yang belum sepenuhnya teratasi.
Ironisnya, meskipun rakyat terus memberikan kontribusi melalui pajak, sering kali mereka merasa tidak dihargai atau bahkan dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru menerima kondisi mereka.
Hal ini terlihat dari adanya kebijakan yang lebih berpihak kepada kelompok-kelompok tertentu, sementara rakyat kecil yang seharusnya mendapatkan prioritas seringkali terpinggirkan.
Ketimpangan Beban Pajak: Rakyat Miskin dan Kaya Sama-Sama Membayar
PPN adalah pajak yang dikenakan secara universal kepada setiap orang, tanpa memandang status ekonomi. Tidak ada membekukan atau mengeringkan bagian mereka yang rendah. Akibatnya, PPN cenderung lebih berat dirasakan oleh masyarakat miskin.
Misalnya, seorang yang hidup di bawah garis kemiskinan tetap harus membayar PPN untuk kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Sementara itu, orang kaya yang membeli barang-barang mewah atau properti mewah juga mengenakan PPN yang sama, meskipun mereka memiliki penghasilan yang jauh lebih besar.
Hal ini menciptakan ketimpangan dalam sistem perpajakan, dimana rakyat miskin merasa terbebani oleh pajak yang harus mereka bayar, sementara orang kaya atau korporasi besar dapat menghindari sebagian besar kewajiban pajak mereka melalui berbagai celah hukum dan kebijakan.
Hal inilah yang menimbulkan ketidakadilan dalam sistem perpajakan, yang seharusnya dapat menyeimbangkan beban antara yang kaya dan yang miskin.